Menyoal Arus Sinisme yang Meresahkan Kader-Kader Dakwah

Oleh : Afif Romadlon

Bermula dari banyaknya pertanyaan yang dilontarkan beberapa kader, aktivis dakwah dan bahkan tokoh PKS kepada penulis tentang berbagai persoalan dakwah dan ukhuwwah yang kian meresahkan belakangan ini, penulispun terdorong untuk menuliskan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan mereka dalam blog ini agar dapat bermanfaat juga untuk banyak pihak yang kebetulan mempunyai pertanyaan yang sama. Penulis tidak akan menuliskan nama-nama dalam contoh-contoh yang diungkapkan semata-mata karena masalah kepatutan.


Salah satu permasalahan penting yang meresahkan para kader adalah soal adab majelis dan adab berjamaah yang tidak lagi diindahkan. Beberapa ikhwan, sebagian adalah kader-kader awal gerakan dakwah ini dan umumnya para mubalighin dan khuthoba yang cukup kondang, di berbagai forum seolah secara serentak menyuarakan gerakan anti perubahan dalam pengertian yang sangat rigid (antagonis terhadap perubahan). Mereka juga melontarkan kritik-kritik tajam, pedas dan cacian terhadap partai, pejabat-pejabat partai dan bahkan terhadap sang muasis dakwah harokah dan partai ini. Ucapan-ucapan sinis mereka yang tidak lagi mengindahkan adab dan sopan santun mengesankan bahwa mereka tidak lagi menghormati dan menghargai orang lain yang sedang beramal, padahal yang mereka caci adalah guru mereka sendiri.

Mereka begitu emosionalnya sampai lupa memilah waktu serta memilih tempat dan forum disaat berbicara. Mereka juga tidak memperdulikan siapa audiensnya, bahkan tidak lagi sempat memikirkan apa efek "statement-statement" mereka terhadap kelangsungan dakwah ini. Bagi mereka yang penting memuntahkan semua kemarahan, kekecewaan dan kebencian mereka, yang penting tersebarnya aib hingga benar-benar terpuaskan tanpa tersisa.

Begitulah pertanyaan-pertanyaan yang menggambarkan keresahan para kader atas fenomena yang mereka lihat dan dengarkan.

Memang saat ini gerakan dakwah sedang diuji dengan banyaknya kelompok kelompok dan aliran-aliran yang menyempal atau keluar dari arus utama pemikiran gerakan dakwah ini. Eforia demokrasi bangsa Indonesia masuk dalam tatanan jamaah ini berupa kebebasan untuk berbeda pendapat dan menyuarakannya dengan bebas dan nyaris tanpa aturan. Hal ini mulai meresahkan dan menggelisahkan para kader di bawah yang ingin tetap ikhlas beramal tanpa terjebak pada perdebatan wacana yang melambung dan bernuansa parapolitik (politik internal). Nampaknya hingga saat ini belum ada tokoh maupun sistem atau paling tidak solusi berupa pendekatan yang dapat mengurai benang kusut perdebatan pemikiran dan akhirnya menjawab kegelisahan dan keresahan tersebut.

Untuk itu penulis ingin membahas permasalahan tersebut dengan perspektif dan logika ilmiah yang jernih dan tidak mengandung pretensi apapun.

Sebagian ikhwah yang vokal dan berperilaku meresahkan seringkali membela diri dengan dalih mereka vokal dan kritis karena menyayangi jama’ah dan para pemimpinnya sehingga mengkritik, menasehati dan mengoreksi.

Sekilas nampaknya benar apa yang mereka utarakan. Ya.. apa yang salah dengan tausiah dan kritik? Tidak ada yang salah memang dengan hal itu, yang menjadi salah dan masalah adalah mereka tidak bisa membedakan antara kritik dan sinisme. Kita harus membedakan antara keduanya. Tausiyah dan kritik berfungsi untuk meluruskan dan mengoreksi kesalahan dalam lingkup positif, namun tidak demikian halnya dengan sinisme. Orang-orang yang tergabung dalam aliran sinisme ini (selanjutnya penulis sebut : Galasin – golongan sinisme-- ) bukan lagi bermaksud menasehati dan mengoreksi pihak lain melainkan menghancurkan karakter orang yang tidak mereka sukai, bahkan belakangan ini mereka sepakat untuk masuk kedalam jamaah dan menyuarakan dari dalam dan mulai membentuk struktur sendiri. Mereka mendapat dukungan +/- 150 kader, yang sebagiannya adalah para mufatirin lama dari berbagai daerah. Mereka menciptakan stigma jamaah cenderung sesat dan mereka yang memegang tongkat kebenaran dan kesucian. Kebenaran miliknya sementara yang lain sungsang dan lancung.

Konon munculnya istilah sinisme adalah sudah sejak 400 tahun sebelum masehi. Awalnya ia adalah filsafat nilai dalam mengartikan kebaikan dan berbuat baik dengan cakupan positif. Bahwa seseorang melaksanakan kebaikan dengan tujuan kebahagiaan hakiki, dan harus membuktikan ketulusannya dengan menjauh dari harta dan dunia (zuhud). Namun pada akhirnya terjadi penyimpangan secara ekstrim, standar yang pada awalnya digunakan sebagai ukuran untuk dirinya berubah menjadi alat ukur untuk mencemooh orang lain yang tidak sejalan dengan pikirannya.

Maka pada gilirannya saat ini Galasinpun ada di jamaah kita. Mereka menjadi golongan sinisme yang kerap kali menjelek-jelekkan semua orang selain dirinya. Suka mencemooh, mencibir, menistakan, menggosip, lancang, dan arogan. Seolah-olah hanya pada dirinya dan kelompoknya saja kebenaran dan kebaikan berada, sedangkan pihak lain tidak. Mereka merasa bisa mengerjakan semua yang mereka katakan padahal bila menengok kebelakang merekalah contoh orang yang gagal. Mereka berbicara, mengecam orang lain sementara mereka tidak sedang mengerjakan apa-apa, tidak pula ada amanah yang sedang diemban. Mereka sibuk berwacana dengan kalimat ‘seharusnya’ dan ancaman kerusakan dan kehancuran, padahal mereka sendiri sedang menghancurkan. Karena secara teori galasin lebih suka menghancurkan tatanan yang ada, baik tatanan sosial ataupun organisasi.

Ada contoh yang ironis sekaligus menyedihkan untuk memperjelas hal diatas. Masih segar dibenak penulis, ketika ada seorang anggota DPR RI dari partai Keadilan yang tergabung dalam Fraksi Reformasi (1999-2004), menunjuk gedung DPR dan menyebut gedung tersebut sebagai kandang babi, padahal saat itu dia sendiri adalah bagian dari gedung tersebut. Menurut penulis itu adalah ungkapan kekecewaan atau mungkin keputus-asaan atas ketidak mampuannya mengikuti proses demokrasi. Ia tidak memperdulikan untuk siapa dan kepada siapa ia berbicara. Mungkin akan lebih hebat umpatannya seandainya pada saat itu dia tidak merupakan bagian dari gedung tersebut. Kesimpulannya, baik dia bagian dari gedung itu ataupun bukan, dia akan selalu mengumpat. Jelas itu bukan akhlak terpuji dan filsafat sinisme itu negatif. Betapapun kalimat sinisme pada awalnya digunakan hal yang masih positif, namun pada perkembangannya menjadi sangat negatif dan cenderung melawan hukum positif ataupun hukum Tuhan. Sehingga dalam filsafat modern sinisme disejajarkan dengan atheis.

Ada contoh lain tentang sinisme dalam konteks harokah kita, bahwa ada sekelompok orang yang memiliki hobi menyebarkan sinisme dengan cara obral sms ataupun dengan milis, website, atau blog yang tingkat penyebarannya luarbiasa. Setelah ditelusuri latar belakang masing-masing orang tersebut, walaupun berbeda-beda namun memiliki kemiripan yaitu kekecewaan dan kegetiran yang melatar-belakanginya. Ada yang kecewa karena ikut tender di sebuah departemen dengan harapan akan diberi privilege oleh tokoh partai, namun ternyata tidak dapat apa-apa. Setelah itu dia menjadi pencemooh dan menghabiskan banyak pulsa untuk menyebarkan sms-sms sinis ke semua orang dan berharap mendapat dukungan dan pujian atas kepahlawanannya menyebarkan gosip tanpa mengetahui dengan jelas bukti dan sumbernya. Jelas gosip dan ghibah dilarang agama. Ini adalah contoh kekecewaan yang berakibat kepada sinisme. Dan banyak lagi ragam kegetiran yang menyebabkan seseorang menjadi sinis. Ada yang disebabkan karena pernah menjabat tapi karena melakukan pelanggaran sehingga harus dicopot, kemudian menjadi kecewa dan sinis.

Salah satu anggota Galasin yang disebutkan kader penanya di atas, rupanya ada dari kalangan akademisi dengan titel hebat dan cukup kondang dengan simat wajah soleh dan penampilan yang luar biasa islami. Nah… yang ini penulis tidak berani berkomentar, sepertinya kita semua harus beristighfar bersama tanda pengakuan kita sebagai manusia yang kerap diliputi dengan kekeliruan. Namun ironisnya penulis juga ingat dahulu ketika dakwah ini masih dikelola dengan syiar sundukuna juyubuna (sumber dana kita berasal dari saku kita masing-masing). dan membutuhkan ilmuwan (ulama), sang doktor tadi dimohon kesediaannya untuk terlibat dalam dakwah. Ternyata enggan dan menolak. Setelah diminta berulang ulang tidak kunjung bersedia, maka penulis ingin sekali mengetahui alasan dari penolakannya itu. Pada akhirnya muncullah pernyataan dari mulutnya yang disampaikan kepada salah satu utusan yang menemuinya. Terus terang jawabannya membuat penulis terbelalak dan malu. “bila saya mau pegang amanah di partai, akan dapat fasilitas apa? (gaji berapa, kendaraannya apa).

Ada contoh lain yang menggelikan, yaitu ada beberapa orang yang pada awalnya mendapat amanah dakwah, tapi karena merasa dirinya tidak mampu maka mereka mengundurkan diri. Penulis masih ingat dengan ungkapan salah seorang dari mereka pada waktu mengundurkan diri “otakku gak nyambung setiap kali rapat. Ibarat main bola, cuman lari-lari gak pernah nendang bola hingga bunyi peluit terakhir” katanya. Betapapun demikian pengunduran dirinya tidak langsung diterima oleh pimpinan. Setelah pengunduran dirinya berkali-kali diajukan, maka akhirnya diterima. Namun beberapa tahun kemudian ketika jabatannya diberikan kepada orang lain, beliau pula yang menjalankan praktek operasi sinisme terhadap tokoh-tokoh penggantinya dengan keras, bahkan mencerca dan menistakan. Tipe yang ini penulis tidak tahu, termasuk dari golongan mana.

Mungkin masing-masing pembaca mendapati kesimpulan yang berbeda-beda, tapi dari sekian cerita yang mungkin tidak dapat ditulis disini semuanya, penulis berkesimpulan Galasin dalam konteks dakwah ini dilatar belakangi oleh kekecewaan yang sangat dalam.

Semoga cerita tersebut diatas bukan sekedar olok-olok, tapi diterima sebagai tarbiyah bagi kita semua. Akhir cerita penulis berpesan “ Ikhlaslah Beramal”, hormati saudara kita yang sedang beramal dan jaga keutuhan jamaah demi kemaslahatan yang lebih besar. Hiasi komunikasi ukhuwwah antar kita dengan itsar dan salamatus sodr jangan rusak keindahan ukhuwwah dengan hasad dan dengki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar