Sebuah Ruang Besar untuk Beramal

Oleh : Ahmad Feri Firman

”Hai-hai orang-orang yang beriman, ruku’lah, sujudlah dan sembahlah Rabbmu, dan perbuatlah kebajikan-kebajikan, agar kamu beruntung”(Q.S 22: 77)

”Barangsiapa beramal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dan mereka dalam keadaan beriman, maka Allah akan memberikan kehidupan yang baik dan memberi balasan yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.(Q.S 16:97)

Salah satu kunci sukses dunia akhirat adalah beramal shaleh atau melakukan produktifitas kebajikan sebanyak-banyaknya di atas landasan iman. Dan Allah menghamparkan bagi kita ruang besar untuk beramal shaleh adalah di Indonesia. Kenyataan bahwa Indonesia masih dalam kondisi kritis dan kinipun terdampak krisis global AS harus tetap kita sikapi dengan optimisme. Paling tidak tersedianya peluang besar untuk beramal shaleh sebagai hikmahnya.

Namun memang ada sebuah pertanyaan besar : Mengapa Indonesia yang memiliki segala persyaratan untuk menjadi negara maju, kaya bahkan adidaya karena SDM dan SDA yang luar biasa, kini tetap masih menjadi negara yang terbelakang. Salah satu penyebab asasinya adalah bangsa ini memiliki budaya yang terputus-putus, tidak ada estafeta kepemimpinan antar generasi. Tidak ada kesinambungan antar generasi. Bahkan terjadi konflik antar generasi dan proses pergantian kepemimpinan tidak demokratis atau inkonvensional. Hal ini sudah terjadi sejak zaman raja-raja Mataram, Majapahit, Singasari dan seterusnya. Proses suksesi raja-raja seringkali diwarnai dengan kudeta baik berdarah maupun tidak.

Anehnya hal tersebut masih berlanjut di zaman sesudah kemerdekaan hingga saat reformasi dewasa ini. Proses suksesi kepemimpinan terjadi secara inkonvensional dan generasi yang menggantikan menghujat pendahulunya seolah tidak ada kebaikan yang telah pernah dirintis oleh generasi sebelumnya dan dihargai dan diteruskan oleh generasi berikutnya. Soekarno dikenai tahanan rumah dan diperhinakan di saat-saat akhir kehidupannya oleh Soeharto, seolah Soekarno tidak pernah berjasa sama sekali dan semata-mata bersalah karena memberi peluang pada PKI untuk tumbuh berkembang. Padahal Soekarno adalah salah satu founding father dan deklarator kemerdekaan RI. Beliau juga berjasa dalam prinsip berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), memiliki dignity, martabat atau harga diri dan berani berkata kepada salah satu negara adidaya yakni AS:”Go to hell with your aids”. Selain itu Bung Karno pun berjasa dalam membangun ”national character building”.

Namun sebaliknya generasi orde reformasi pun menganggap bahwa Soeharto cacat seumur hidup karena represif, militeristik, tidak demokratis serta sangat korup. Maka Soeharto pun dihujat dan dicaci. Setiap pihak yang berusaha mengenang kembali jasa para pemimpin terdahulu, termasuk Soeharto akan selalu dicurigai sebagai anti reformasi atau mengkhianati reformasi. Ini tak ubahnya seperti di zaman Soekarno setiap orang yang berbeda pendapat dicap sebagai anti revolusi, sementara di zaman orde baru, lawan-lawan politiknya diklaim Soeharto sebagai anti pancasila dan subversif. Soeharto sebagai salah satu dari rangkaian orang besar, telah menulis sejarah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal sebagaimana Soekarno yang juga punya kesalahan, memiliki pula banyak jasa dan kelebihan. Demikian pula Soeharto yang berjasa memerangi atheisme-komunisme di tengah bangsa Indonesia yang religius ini. Ia juga mengintrodusir ideologi pembangunan dan membangun jiwa entrepreneurship.

Di tengah hiruk pikuknya suasana saling hujat dan minim apresiasi seperti itulah PKS sebagai partai dakwah ingin mencontohkan budaya saling memaafkan dan tidak mendendam, karena dendam adalah energi negatif yang sia-sia sementara bangsa ini ke depan membutuhkan lebih banyak energi positif. Apalagi Rasulullah SAW juga mengajarkan pada kita, ”Bukan dari golonganku, mereka yang tidak menghormati orang yang lebih tua, dan menyayangi yang lebih tua. Bila kita tidak mau mengakui kelebihan, jasa dan hal-hal positif yang telah dilakukan pemimpin terdahulu kita, maka seolah-olah kita memulai membangun negara dan bangsa ini dari nol kembali setiap terjadi pergantian kepemimpinan.

Bahkan Mohammad Roem pernah ditanya oleh mahasiswa Islam tentang keresahan mereka tentang penafsiran tunggal Pancasila yang dikhawatirkan akan menjurus kepada kemusyrikan, dan beliau menjawab: Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat fleksibel dan adaptif terhadap pemimpin dan mudah melupakan pemimpin sebelumnya. Misalnya Nasakom dulu menjadi ideologi wajib hingga seolah menjadi nafas bangsa Indonesia di zaman Bung Karno, namun begitu Bung Karno lengser dan wafat maka ideologi tersebut cepat dilupakan orang, dan bangsa ini pun harus membangun ulang penafsiran baru terhadap Pancasila. Kalian tidak perlu khawatir akan perkembangan penafsiran Pancasila sekarang ini. Nanti pada saatnya seperti halnya Nasakom begitupula Pancasila berikut asas tunggal dengan P4-nya dan trilogy pembangunan yang menjadi mantra sakti saat ini akan terkubur bersama pemimpinnya satu saat nanti.

Dakwah ini telah bergabung bersama mahasiswa dan rakyat Indonesia untuk mempelopori reformasi dengan menurunkan Soeharto, dalam waktu bersamaan dakwah harus membangun peradaban politik bangsa. Harus mampu mengingatkan bangsa Indonesia ke arah pembangunan peradaban bangsa yang lebih Islami yang berkesinambungan. Banyak persoalan bangsa yang bisa diselesaikan dengan berpadunya seluruh komponen bangsa ini untuk bergandeng-tangan tanpa saling curiga mencurigai baik antar komponen bangsa ataupun antar generasi kepemimpinan.

Ada pertanyaan besar yang dilontarkan beberapa pimpinan di Negeri ini : Kelihatannya PKS memiliki obsesi untuk memimpin reformasi bangsa Indonesia namun mau dibawa ke mana reformasi oleh PKS?.

Pernah PKS dicurigai sebagai kelompok ekstrim kanan atau dengan stigma sekarang sebagai teroris yang mirip Taliban dan memiliki hidden agenda. Dengan stigma tersebut banyak pihak yang tidak bersahabat dengan PKS, salah satu di antaranya adalah militer atau TNI. Dalam salah satu pertemuan para pensiunan Jendral TNI dengan Ketua Majlis Syura: KH Hilmi Aminuddin Lc, keluar pernyataan dari para mantan Jendral tersebut: ”Kami (TNI) dulu tidak merasa serumah dengan PKS, (dengan kata lain mereka merasa PKS asing di negeri ini) namun setelah Dialog Kebangsaan di Bali, kami merasa sudah satu rumah dengan PKS namun belum satu kamar dengan PKS. Namun kini setelah berbincang-bincang dalam dan jauh dengan pendiri PKS, kini kami merasa sudah satu kamar dengan PKS”.

Ada dialog lain yang menarik ketika para Jenderal purnawirawan tersebut bertanya apakah PKS bermaksud menegakkan syariat Islam? Kelihatanya para Jenderal (Purn) ini benar-benar ingin bermushorohah tentang hal-hal apa yang mereka risaukan dan curigai dari jati diri PKS yang sesungguhnya. Ustadz Hilmi menjawab: ”Bahwa kita saat ini sedang bersilaturahim adalah bagian dari syariat Islam. Tanpa syari’at Islam orang tidak mungkin berhaji atau umrah, menunaikan kewajiban zakat dll. Sembilan puluh delapan persen (98%) syariat Islam berada di ruang pribadi dan muamalah yang tidak perlu diundang-undangkan. Hanya 2% bagian syariat Islam yang berada di ranah hukum dan harus diundangkan yang banyak ditakuti orang seperti hukum rajam, cambuk dan lain-lain yang merupakan hukum pidana agar negara memiliki otoritas untuk pelaksanaannya. Namun itupun harus melalui sebuah konsensus dan bila belum tercapai konsensus untuk melaksanakan hal itu ya tidak apa-apa tidak dilaksanakan yang kata kuncinya adalah konsensus.”

Selain itu juga pertanyaan lain yang rupanya selama ini tersimpan di benak para mantan Jenderal dilontarkan ke ustadz Hilmi: ”Apakah kalian (PKS) anti Pancasila?”. Ustadz Hilmi menjawab lugas: ”Bukan Pancasila yang menimbulkan antipati dan resistensi pada umat Islam, melainkan pemaksaan tafsir tunggal yang kejawen itulah yang menjadi sebab resistensi. Pancasila sendiri sebagai platform dan ideology terbuka sebenarnya memiliki fleksibilitas penafsiran yang bisa diisi dengan tafsir yang menjadi konsensus bersama”. Bung Karno ketika diprotes oleh umat Kristen mengapa Pancasila sangat berbau Islam mengatakan hal itu sebagai kewajaran karena secara riil mayoritas bangsa Indonesia adalah muslim sehingga mewarnai dan memberi nafas pada ideology bangsa. “Bila kalian mampu menjadi mayoritas, maka Pancasila pun akan bisa diwarnai dengan nilai-nilai Kristiani”, demikian tegas Bung Karno. Jadi sebenarnya pun terbuka ruang kontestasi bagi ideologi Islam untuk memenangkan pertarungan secara fair dan prosedural jika ingin diterima sebagai konsensus berbangsa dan bernegara.

Dalam rangka menuju kondisi itulah yakni ideology Islam diterima sebagai konsensus suatu hari nanti, maka PKS membutuhkan ruang beramal shaleh yang lebih luas dari sekedar pesantren, sekolah, kampus dan masjid yakni pentas bangsa dan negara. Oleh karenanya PKS harus “kulanuwun” menyapa segenap elemen penghuni negara ini dari beragam partai, kelompok, agama dan suku. Selain itu juga harus berusaha meredam dan meminimalisir setiap unsur yang memiliki resistensi, antipati dan permusuhan terhadap PKS. Panggung politik ini harus menghasilkan maslahat untuk ummat dan bangsa Indonesia bukan sekedar politik untuk politik.
Iklan PKS tentang Pahlawan yang ditayangkan di TV selama tiga hari di sekitar Hari Pahlawan adalah upaya menampilkan perjuangan para pahlawan pendahulu kita yang masing-masing telah mencoba berbuat bagi bangsa dan negara ini. Namun para pahlawan nasional maupun tokoh pemimpin yang telah menjadi pahlawan nasional rupanya masih diklaim identik dengan kelompok dan golongan tertentu. PKS menganggap dengan menampilkan dan menghargai para tokoh tersebut berarti telah menyapa elemen-elemen bangsa yang berbeda-beda yang kesemuanya terikat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang berarti PKS memperluas medan dakwah untuk beramal saleh.

Mengapa PKS harus menampilkan Soeharto?. PKS merasa harus menyapa beberapa elemen bangsa pendukung Soeharto yakni terutama Jawa dan militer. Pertama adalah orang-orang Jawa yang merupakan pendukung Soeharto dan etnis mayoritas di negara ini yang diibaratkan orang seperti suku Quraisy di Arab yakni suku terpandang yang memiliki banyak keunggulan.

Kedua PKS mencoba menyapa militer sebagai Jenderal berbintang lima dihormati. Kita lihat pada saat pemakaman Soeharto, Jenderal dari empat angkatan memegang keempat ujung bendera yang menutupi keranda jenazah Soeharto, karena Soeharto adalah Jendral Besar. Yang tentunya TNI tidak rela bila Jenderal besar mereka dinistakan. Soal keadilan di meja hijau, tentu ada hukum formal yang menyertainya yang tentunya harus mengikuti mekanisme peradilan yang baku. Apalagi polling di antara 6 presiden RI mana yang paling mereka anggap baik, menunjukkan 54% rakyat memilih Soeharto. Fakta ini tak boleh diabaikan jika jalan masuknya PKS ke ruang besar untuk beramal shaleh ingin lancar dan tak menemui hambatan yang berarti. Karena kita akan mengelola negara, maka kita tidak bisa memakai standar homogenitas, melainkan harus lebih toleran pada keragaman dan perbedaan-perbedaan.

Kebutuhan PKS akan ruang lebih besar untuk beramal harus dapat mengantisipasi terjadinya ancaman dan hambatan yang mungkin terjadi. Salah satunya adalah menghilangkan kecurigaannya terhadap dakwah Islam yang dibawa oleh PKS yaitu dengan meminimalisir kecurigaan, antipati dan resistensi dari berbagai kelompok, suku dan agama. Hal itu semata-mata untuk menciptakan stabilitas bangsa dan seluruh komponen bangsa ini lebih adaptif dengan ide-ide PKS hingga lebih leluasa menggulirkan berbagai kebijakan pembangunan di negeri ini.

Untuk menciptakan stabilitas nasional PKS memilih menempuh jalan konsensus daripada represif. Artinya PKS harus lebih terbuka (open mind) dan lebih demokratis dalam beramal saleh dalam mengatasi persoalan bangsa yang terpuruk ini.

Sehingga tuduhan-tuduhan yang menyakitkan dan tidak beralasan seperti tuduhan tidak reformis dan menerima uang sogokan dari keluarga Cendana tidak boleh mengecilkan hati kita para kader PKS, karena itu adalah resiko dan sunatullah dalam dakwah. Namun yang jelas kita semua harus tetap selalu memiliki dalam benak kita sebuah grand design bahwa kita tengah merintis pembangunan kejayaan dan kemakmuran negeri ini.


Seseorang yang beramal dengan ikhlas di atas grand design yang diyakininya benar, tidak akan terganggu dengan caci, celaan, hujatan dan tuduhan sebagaimana firman Allah dalam Qur’an surat Al Ma’idah ayat 54:” …dan tidak takut celaan orang yang suka mencela”. Juga hadits Nabi SAW: “Layadhuruhum man khodzalahum..” (tidak akan membahayakannya mereka yang menistakannya). Tujuan dakwah dan maslahat ummat jauh lebih berharga dari rasa sakit akibat dihina dan dihujat.

Hal tersebut ditegaskan lagi oleh Nabi SAW:


“Man yukholitun nasa wa yusbiru ‘ala adzaahum khoiru min man la yukholitun nasa wala yusbiru ala adzaahum”.

Orang yang berbaur dengan manusia lainnya (yang beragam ideologi dan pahamnya) dan bersabar dengan rasa sakitnya jauh lebih baik dari orang yang tidak mau berbaur dan tidak bersabar atas penderitaan.


wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar