Membaca Suara PKS di 2009

Oleh: Muhammad Zulifan

Terjawab sudah misteri suara PKS pada pemilu 2009. Setelah sekian lama meramaikan jagat perpolitikan Indonesia dengan iklan-iklan kontroversialnya, hasil quick count yang dilansir beberapa lembaga survey kemarin menempatkan PKS pada posisi keempat. Naik dua tingkat dari posisi semula di 2004, sekaligus menempatkan PKS pada posisi teratas partai berlabel Islam. 

Seperti biasa, pembahasan mengenai partai yang satu ini senantiasa menarik. Masyarakat lebih tertarik untuk bertanya kenapa PKS suaranya tidak naik signifikan dibanding mempertanyakan partai Islam lain yang kesemuanya turun. Kini, di tengah penurunan signifkan semua parpol, nyatanya hanya dua partai yang bisa bertahan; Demokrat dan PKS. PKS menjadi satu-satunya partai berlabel Islam yang bertahan bahkan bertambah meski tidak signifikan seperti yang diharapkan. 

Hasil ini bisa dilihat dari dua sisi, kemenangan sekaligus kegagalan. Dari sisi eksternal, suara PKS memang mengalami peningkatan. Namun dari sisi internal, banyaknya energi yang terkuras ternyata tidak sebanding lurus dengan hasil yang diperoleh. Setelah sekian lama mempromosikan diri sebagai partai terbuka, PKS belum bisa meraup suara dari pemilih tengah-rasional. Lantas, apa sebenarnya yang terjadi?

 

Keshalihan Vs Stabilitas.

Menurut teori ceruk pasarnya Eep Saifulah Fatah, amat susah para pemilih untuk menyeberang ceruk pasar. Sebagaimana diketahui, ceruk pasar Islam hanya didiami 37,54% dari total pemilih pada 1999 dan berubah menjadi 38,33% pada 2004. Nyatanya para pemilih Indonesia bukanlah para pelintas batas. Para pemilih partai Islam cenderung mengalihkan dukungannya ke partai berbasis massa Islam lainnya. 

Bidikan PKS dengan berbagai Iklan kontroversialnya selama ini adalah pemilih di luar ceruk pasar Islam terutama swing voter yang mempunyai karakter rasional-pragmatis.

Celakanya, mereka lebih tertarik pada tema-tema rasional dan konkret. Hasil Pemilu 2009 ini memutuskan Demokrat dengan ikon SBY-nya lebih dicintai dibanding PKS. Jualan PKS “Bersih – Peduli- Professional” tidak mempan untuk menggerakkan hati swing voter. Mereka lebih memilih Demokrat dan SBY yang telah secara empiris dirasakan masyarakat setidaknya selama masa pemerintahan 2004-2009. 

Harus diakui bahwa SBY dengan berbagai pencitraannya yang positif ditambah program-progam pro rakyat ( BLT, PNPM Mandiri, dll) lebih bisa meraih simpati suara swing voter ketimbang PKS yang belum kentara kinerja konkretnya. Sebagai contoh, kinerja para anggota dewan PKS di DKI yang tidak bisa menunjukkan hasil signifikan. Jika dikatakan belum ada aleg PKS DKI yang tertangkap KPK, hal itu juga berlaku bagi seluruh aleg DKI dari partai lainnya.  

Maka tepat apa yang disampaiakan Anis Baswedan bahwa suara PKS saat ini adalah suara massif massa Islam. Suara PKS yang kisaran 8 persen itu adalah suara murni kader dan simpatisan ditambah sedikit limpahan dari massa partai Islam lain seperti PBB, PAN dan PPP.  

Hal ini juga menjawab mengapa suara PKS hanya mengalami penurunan kecil (antara 2-3%) di wilayah Jakarta dan penyangganya (Depok, Tangerang, dan Bogor). 

Dari hasil ini massa swing voter seolah berkata: “Kami suka caleg bersih, tapi kami lebih suka caleg yang konkret dan teruji menciptakan stabilitas.”


Dari Jakarta ke Indonesia

Fenomena menarik pada Pemilu tahun ini adalah kemenangan Demokrat yang hampir merata di seluruh Indonenesia. Tidak hanya PKS yang kehilangan posisi puncak di daerah basisnya, kondisi yang sama dialami parpol lain. Dengan melihat kasus Depok misalnya, kita akan melihat bahwa naiknya suara Demokrat adalah murni karena pencitraan SBY. Demokrat bukanlah partai yang mempunyai track-record pemerintahan di Depok, namun suaranya bisa melewati PKS dan Golkar. Maka amat susah untuk mengatakan bahwa peningkatan suara Demokrat di Depok karena kinerja partai ini di Depok.  

Karenanya, turunnya suara PKS di DKI Jakarta dan penyangganya bisa disimpulkan bukan karena faktor internal PKS, namun lebih karena faktor Demokrat sebagai incumbent yang lebih konkret memberikan kepastian pada masyarakat. Akan berbeda jika yang memenangi suara di Depok adalah partai Gokar misalnya, hal ini bisa dibaca bahwa PKS tidak lebih baik dari partai sebelumnya dalam menjalankan pemerintahan.

Meski di basis massa utama sedikit menurut, nyatanya kursi PKS secara nasional diprediksi lebih banyak (73 dari tahun sebelumnya 45). Seperti dikatakan Anis Matta, PKS telah melakukan survei ke 6.836 TPS di seluruh Indonesia per tanggal 10 April pukul 13.15 WIB.
Paling besar ini sumbangan dari seluruh Sulawesi. Itu naik dari dua kursi dari 2004, naik menjadi 9..Untuk Dapil Jateng naik dari 3 kursi menjadi 9. Sumatera dan Jawa Barat, masing-masing menyumbangkan 6 kursi. Daerah lainnya seperti Kalimantan dan Jatim sama-sama menyumbangkan 3 kursi baru. Tapi untuk DKI Jakarta tidak ada penambahan kursi.
PKS di beberapa wilayah seperti Kalsel, Sulteng dan Maluku mengungguli Partai Demokrat. Jadi sebaran suara PKS sekarang merata per wilayah. Ini sebagai bukti bahwa suara PKS telah menyebar di berbagai daerah.

 

Track yang salah?

Sementara pihak ada yang menyatakan bahwa langkah PKS selama ini sudah tidak berada pada track yang benar atau lebih dikenal tidak asholah lagi, terjebak pada sistem demokrasi dan wajar jika masyarakat tidak percaya lagi. 

Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita komparasikan dengan harokah sejenis di Malaysia; PAS (Partai Islam Se-Malaysia) . Salah satu faktor yang menjadikanya kalah setelah kemenangannya di negara bagian Kelantan, Serawak dan Trengganu adalah dikeluarkanya buku Negara Islam vesi PAS ke khalayak umum. Masyarakatpun merespon dengan meningglkan PAS. Hal ini menjadi cermin bahwa tidak serta merta ketika partai Islam mengusung Islam secara vulgar maka akan menang. 

Contoh lain, Erdogan dan AKP Tukri banyak mengeluarkan kebijakan kontroversial. Pada 2003 mengeluarkan UU yang membela kaum gay dan Lesbi sebagai syarat masuknya Turki ke Eropa. Semua mencela. Namun lihatlah kini AKP Turki menjadi rujukan pergerakan Partai Islam di dunia dengan memenangi Pemilu Legislatif dengan surata hampir 50% dan sekaligus memenangi Pemilihan Eksekutif.

 

Pada kasus pertama (PAS), bila diasumsikan bahwa kembalinya kita ke asholah (versi FKP) serta meninggalkan sistem demokrasi akan berbanding lurus dengan suara di Pemilu, maka hal itu terbantahkan dengan sendirinya. Kasus kedua (AKP Turki), bila diasumsikan bahwa pilihan fikih yang kontroversial akan menurunkan suara, juga tidak terbukti sama sekali.  

Dari contoh di atas bisa kita ambil point bahwa pilihan fikih politik yang diambil selama ini adalah sudah benar dengan segala pertimbangan manfaat dan mudharatnya. Jika di tengah perjalanan menemui hasil yang tidak sesuai target, hal itu bukan salah pilihan fikihnya. Pasang surutnya suara adalah sunnatullah sebagai konsekuensi logis perjuangan dakwah. Hasil suara tidak menjadi ukuran bahwa jalan sebuah partai Islam itu telah keluar rel atau tidak. Manhaj dan strategi itu sudah teruji dan di sana ada fikih siyasi yang digunakan. Grafik suara bukan parameter asholah. Kesemua itu terkait banyak hal baik jangka pendek maupun jangka panjang. 

Dan hal itulah yang terjadi pada perjalanan dakwah Rasululuh yang ma’shum. Beliau juga mengalami jatuh-bangun dalam perjuangan menegakkan Al-Islam. 

Termasuk Isu Iklan. Fakta membuktikan bahwa Seheboh apapun iklan yang diluncurkan PKS hal ini tidak mengubah hasil survey internal. Ketika iklan versi Soharto di-release, hasil survey internal PKS menunjukkan suara yang tetap stabil di kisaran 20, baik sesudah maupun sebelum. 

 

Khatimah.

Melihat kondisi real 2009, PKS mungin akan menerapkan strategi “habiskan di 2014”. Koalisi dengan Demokrat hingga SBY habis masanya di 2014. Saat itu tidak ada lagi figur mumpuni yang sebanding SBY. Sementara capres-capres lain yang kini beredar sudah memasuki masa uzur dan tidak mungkin ‘nampil’ lagi.

Dan kini, perjuangan partai Islam masih menunggu waktu yang tepat untuk menemukan moment terbaiknya. Manusia sering terlena dengan potongan skenario-Nya dan tidak mau membaca skenario itu secara utuh. Kondisi pada potongan kisah dakwah kita di dunia ini bukanlah alasan untuk berhenti berjuang. Bagaimanapun kita percaya akan janji Allah bahwa kemengan milik Islam akan segera datang.
Wallahu alam bisshawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar