Pilar Kekuatan Jamaah Dakwah


Disarikan dari Taujih : Ust. Hasan B Hafizahullah
dosen Ma'had Dirosat Al-Hikmah

Disarikan oleh
Ahmad Feri Firman


Alhamdulillah wa shalatu wa salamu ala Rasulillah wa alaa aalihi wa shahbihi wa man waa laah. Wa ba’du.

Ikhwah sekalian,

Saya sangat senang bertemu dengan Antum semua sebagai tokoh-tokoh dakwah. Perlu Antum ketahui, bahwa perang hakiki yang kita hadapi hari ini adalah jiwa (perang urat syaraf). Oleh karenanya, gerak yang kita lakukan harus diawali dengan membentuk dan membina pribadi muslim. Dan sarana utama kita dalam kebangkitan ini adalah kaderisasi. Adapun ruang lingkupnya adalah bagaimana kita membentuk aktivis dakwah yang bisa menanggung misi kebangkitan secara komprehensif. Kebangkitan ini hanya bisa dilakukan oleh satu shaff barisan yang utuh dengan ruh ukhuwwah dan terdiri dari orang-orang yang saling menguatkan serta percaya dengan pemimpinnya. Merekalah yang akan mampu memimpin umat Islam karena mampu menghadapi tantangan dan membenci perpecahan.

Bisa saja pada saat melewati ragam problematika di jalan dakwah, kita lupa terhadap masalah asasi, yaitu ikatan barisan dakwah dengan tali ukhuwwah. yang terjalin di atas akal dan hati. Bukan sekedar ikatan artifisial dan bukan pula sekedar keanggotaan partai atau jamaah saja, melainkan keterikatan dengan ikatan keimanan.

Ikhwah rahimakumullah,
Persaudaraan dan ukhuwwah yang kita wujudkan agar dapat menembus ruang dan waktu hidup kita hingga ke akhirat harus didasarkan karena Allah swt, bukan karena yang lain. Dengan demikian tantangan yang kita hadapi meskipun besar akan menjadi ringan bila kita hadapi dengan ukhuwwah. Bahkan tatkala kita memiliki ukhuwwah yang baik, sebuah tantangan yang diarahkan kepada kita akan memperkuat kita sendiri.

Sebagaimana Imam Hasan Al Banna rahimahullah mengatakan, ”Asasu da’watina al hubbu fillah wa tarahum.” Landasan dakwah kita adalah cinta karena Allah dan kasih sayang. Kata-kata al hubbu fillah (cinta karena Allah) bukan sekedar kata-kata, bukan hanya ucapan, dan bukan pula sekedar syiar simbol. Siapapun yang mengatakannya, harus sadar tuntutan konsekwensi kata-kata itu.

Ikhwah rahimakumullah,
Allah swt menyaksikan apa yang kita katakan, dan ucapkan dari mulut kita apakah jujur atau tidak. Setiap segala sesuatu ada hakikatnya yang bisa diterjemahkan dalam kenyataan. Sayyid Quthb rahimahullah mengatakan, “Al ukhuwah fillah, laa yadzuuquha illa man dzaaqaha.” Ukhuwwah di jalan Allah, tak bisa dirasakan kenikmatannya kecuali oleh orang yang telah merasakan nikmatnya. Lihatlah bagaimana para sahabat berinteraksi sesama mereka dengan cinta dan ukhuwwah. Meskipun ada perselisihan di antara mereka, tapi perselisihan itu tidak merusak kasih sayang yang ada di antara mereka.

Begitulah, Allah telah menanamkan kasih sayang dalam jiwa mereka. Sehingga sebenarnya yang menjadi masalah bukan terletak pada hal yang diperselisihkan, tapi pada kedengkian yang muncul dalam jiwa orang-orang yang berselisih itu. Sedangkan bila di bawah naungan cinta, bukannya kita tidak pernah berselisih, namun kita akan mengerti bagaimana sikap kita ketika berselisih, berdiskusi, dan beradu argumentasi. Islam mengajarkan kita untuk menjadikan cinta karena Allah menjadi landasan dalam setiap perbuatan.

Sesungguhnya, sikap paling buruk adalah bila kita menguliti pakaian saudara kita, yaitu dengan membongkar aib saudara kita. Bahkan Allah swt mengistilahkan seperti memakan bangkai saudaranya yang sudah mati.

Menurut Ahmad bin Hambal, 90 persen kebaikan akhlak adalah dengan pura pura mengabaikan informasi yang buruk. Bila kita tidak bisa memberi udzur(alasan), kita cari alasan lain untuk saudara kita. Jangan kehabisan alasan untuk saudara kita. Ini adalah manhaj Islam. Kita juga harus mengerti bahwa jalan pikiran orang berbeda-beda. Karena itu, dalam jamaah Ikhwan, hak menentukan pendapat mana dan siapa yang harus didukung ada pada qiyadah. Imam Al Banna sejak sejumlah Ikhwah berbaiat kepadanya sudah bertanya, ”Apakah kalian siap mengalah dalam mengikuti masalah ijtihadiyah para qiyadah?” Hak pemimpin adalah menentukan mana dan siapa yang harus diikuti. Dalam majlis syuro setiap orang bisa menyampaikan apa saja secara bebas. Tapi bila syuro sudah menetapkan qarar maka tidak ada lagi hak pribadi untuk menyampaikan pendapat. Kita harus ridha dengannya.

Ukhuwwah karena Allah adalah kenikmatan yang hadir karena keimanan. Ukhuwwah akan terhalang bila tanpa keimanan. Sama dengan hadits yang menceritakan bahwa seorang mukmin tidak akan berzina, ketika dia beriman. Demikian juga, seorang mukmin takkan menyakiti saudaranya dan takkan menodai persaudaraannya sesama mukmin bila dia beriman. Ketika seseorang telah bicara tentang keburukan saudaranya, berarti keimanannya telah rusak. Dan berarti ia berdusta ketika kita mengatakan, engkau adalah saudaraku di jalan Allah. Ia sesungguhnya tidak tahu apa arti ukhuwwah, apa fiqih ukhuwwah.

Ikhwah sekalian,
Sebagai Muslim, ketika ingin mengatakan sesuatu kita harus menghadirkan niat. Sebagaimana ucapan seorang sahabat yang menyebutkan, ”Sejak aku baiat kepada Rasulullah tak pernah keluar dari mulutku kecuali, setiap aku ingin bicara tertahan lebih dahulu, dan aku pertimbangkan apa akibatnya.” Tidak sebagaimana orang-orang munafiqin yang menceritakan isu-isu negatif dengan mulut mereka, Allah swt menyebutkan bahwa mereka menganggap apa yang mereka katakan itu ringan saja, padahal sangat berat dosanya di sisi Allah swt.

Ikhwah sekalian,
Tiga hal yang menjadi buah dari ukhuwah adalah. Pertama; Ukhuwwah ini adalah bagian dari keimanan kita dan karena keimanan itu kita menjadi saling merekat. Kedua; Ukhuwwah adalah senjata qiyadah, dalam mencapai tujuan, dalam merealisasi target. Ketiga; Ukhuwwah adalah senjata paling ampuh, untuk menghadapi tantangan dan kesulitan.
Saya ingin contohkan masalah yang dialami Ali bin Abi Thalib ra. Sahabat Nabi yang sudah jelas kemusliman dan keimanannya, kapasitas ilmu, akal, ruhani, ibadahnya, juga keberanian dan kekuatannya. Akan tetapi sebab musabab yang memunculkan perang Shiffin antara kelompok Ali dan Mu’awiyah dipicu oleh informasi dusta yang terus menerus disampaikan oleh kelompok Syiah, dan secara terus menerus diprovokasi, dipancing dengan ejekan ”Ali adalah pemberani, tapi tak pandai berperang.” sehingga terpengaruh dan terprovokasi..

Ikhwah sekalian,
Ketika Hasan bin Ali pernah ingin mengalah dan menyepakati perdamaian dengan Mu’awiyah, padahal ia bersama 12 ribu pasukan yang siap berperang. Namun kelompok Syiah tidak ingin urung berperang. Mereka tidak ingin Hasan bin Ali mengalah. Ketika itulah Hasan bin Ali mengatakan, ”Apa yang kalian benci dalam berjamaah, lebih baik daripada apa yang kalian sukai dalam perpecahan. Karena Tangan Allah bersama jamaah. Perpecahan adalah saudara kufur, kesatuan adalah saudara keimanan.” 

Ikhwah sekalian,
Ingat, bahwa buah ukhuwwah, akan kembali pada diri kita sendiri, pada jamaah, pada masyarakat, dan pada lingkup yang luas dari itu. Jika kita saling mencinta karena Allah, dan kita ikhlash, mudah mudahan itu menjadi bekal kita bisa menggenggam kemenangan dengan dakwah ini.
Untuk Selengkapnya Silakan di unduh: Taujih Ust. Hasan B Hafizahullah.


Sebuah Ruang Besar untuk Beramal

Oleh : Ahmad Feri Firman

”Hai-hai orang-orang yang beriman, ruku’lah, sujudlah dan sembahlah Rabbmu, dan perbuatlah kebajikan-kebajikan, agar kamu beruntung”(Q.S 22: 77)

”Barangsiapa beramal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dan mereka dalam keadaan beriman, maka Allah akan memberikan kehidupan yang baik dan memberi balasan yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.(Q.S 16:97)

Salah satu kunci sukses dunia akhirat adalah beramal shaleh atau melakukan produktifitas kebajikan sebanyak-banyaknya di atas landasan iman. Dan Allah menghamparkan bagi kita ruang besar untuk beramal shaleh adalah di Indonesia. Kenyataan bahwa Indonesia masih dalam kondisi kritis dan kinipun terdampak krisis global AS harus tetap kita sikapi dengan optimisme. Paling tidak tersedianya peluang besar untuk beramal shaleh sebagai hikmahnya.

Namun memang ada sebuah pertanyaan besar : Mengapa Indonesia yang memiliki segala persyaratan untuk menjadi negara maju, kaya bahkan adidaya karena SDM dan SDA yang luar biasa, kini tetap masih menjadi negara yang terbelakang. Salah satu penyebab asasinya adalah bangsa ini memiliki budaya yang terputus-putus, tidak ada estafeta kepemimpinan antar generasi. Tidak ada kesinambungan antar generasi. Bahkan terjadi konflik antar generasi dan proses pergantian kepemimpinan tidak demokratis atau inkonvensional. Hal ini sudah terjadi sejak zaman raja-raja Mataram, Majapahit, Singasari dan seterusnya. Proses suksesi raja-raja seringkali diwarnai dengan kudeta baik berdarah maupun tidak.

Anehnya hal tersebut masih berlanjut di zaman sesudah kemerdekaan hingga saat reformasi dewasa ini. Proses suksesi kepemimpinan terjadi secara inkonvensional dan generasi yang menggantikan menghujat pendahulunya seolah tidak ada kebaikan yang telah pernah dirintis oleh generasi sebelumnya dan dihargai dan diteruskan oleh generasi berikutnya. Soekarno dikenai tahanan rumah dan diperhinakan di saat-saat akhir kehidupannya oleh Soeharto, seolah Soekarno tidak pernah berjasa sama sekali dan semata-mata bersalah karena memberi peluang pada PKI untuk tumbuh berkembang. Padahal Soekarno adalah salah satu founding father dan deklarator kemerdekaan RI. Beliau juga berjasa dalam prinsip berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), memiliki dignity, martabat atau harga diri dan berani berkata kepada salah satu negara adidaya yakni AS:”Go to hell with your aids”. Selain itu Bung Karno pun berjasa dalam membangun ”national character building”.

Namun sebaliknya generasi orde reformasi pun menganggap bahwa Soeharto cacat seumur hidup karena represif, militeristik, tidak demokratis serta sangat korup. Maka Soeharto pun dihujat dan dicaci. Setiap pihak yang berusaha mengenang kembali jasa para pemimpin terdahulu, termasuk Soeharto akan selalu dicurigai sebagai anti reformasi atau mengkhianati reformasi. Ini tak ubahnya seperti di zaman Soekarno setiap orang yang berbeda pendapat dicap sebagai anti revolusi, sementara di zaman orde baru, lawan-lawan politiknya diklaim Soeharto sebagai anti pancasila dan subversif. Soeharto sebagai salah satu dari rangkaian orang besar, telah menulis sejarah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal sebagaimana Soekarno yang juga punya kesalahan, memiliki pula banyak jasa dan kelebihan. Demikian pula Soeharto yang berjasa memerangi atheisme-komunisme di tengah bangsa Indonesia yang religius ini. Ia juga mengintrodusir ideologi pembangunan dan membangun jiwa entrepreneurship.

Di tengah hiruk pikuknya suasana saling hujat dan minim apresiasi seperti itulah PKS sebagai partai dakwah ingin mencontohkan budaya saling memaafkan dan tidak mendendam, karena dendam adalah energi negatif yang sia-sia sementara bangsa ini ke depan membutuhkan lebih banyak energi positif. Apalagi Rasulullah SAW juga mengajarkan pada kita, ”Bukan dari golonganku, mereka yang tidak menghormati orang yang lebih tua, dan menyayangi yang lebih tua. Bila kita tidak mau mengakui kelebihan, jasa dan hal-hal positif yang telah dilakukan pemimpin terdahulu kita, maka seolah-olah kita memulai membangun negara dan bangsa ini dari nol kembali setiap terjadi pergantian kepemimpinan.

Bahkan Mohammad Roem pernah ditanya oleh mahasiswa Islam tentang keresahan mereka tentang penafsiran tunggal Pancasila yang dikhawatirkan akan menjurus kepada kemusyrikan, dan beliau menjawab: Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat fleksibel dan adaptif terhadap pemimpin dan mudah melupakan pemimpin sebelumnya. Misalnya Nasakom dulu menjadi ideologi wajib hingga seolah menjadi nafas bangsa Indonesia di zaman Bung Karno, namun begitu Bung Karno lengser dan wafat maka ideologi tersebut cepat dilupakan orang, dan bangsa ini pun harus membangun ulang penafsiran baru terhadap Pancasila. Kalian tidak perlu khawatir akan perkembangan penafsiran Pancasila sekarang ini. Nanti pada saatnya seperti halnya Nasakom begitupula Pancasila berikut asas tunggal dengan P4-nya dan trilogy pembangunan yang menjadi mantra sakti saat ini akan terkubur bersama pemimpinnya satu saat nanti.

Dakwah ini telah bergabung bersama mahasiswa dan rakyat Indonesia untuk mempelopori reformasi dengan menurunkan Soeharto, dalam waktu bersamaan dakwah harus membangun peradaban politik bangsa. Harus mampu mengingatkan bangsa Indonesia ke arah pembangunan peradaban bangsa yang lebih Islami yang berkesinambungan. Banyak persoalan bangsa yang bisa diselesaikan dengan berpadunya seluruh komponen bangsa ini untuk bergandeng-tangan tanpa saling curiga mencurigai baik antar komponen bangsa ataupun antar generasi kepemimpinan.

Ada pertanyaan besar yang dilontarkan beberapa pimpinan di Negeri ini : Kelihatannya PKS memiliki obsesi untuk memimpin reformasi bangsa Indonesia namun mau dibawa ke mana reformasi oleh PKS?.

Pernah PKS dicurigai sebagai kelompok ekstrim kanan atau dengan stigma sekarang sebagai teroris yang mirip Taliban dan memiliki hidden agenda. Dengan stigma tersebut banyak pihak yang tidak bersahabat dengan PKS, salah satu di antaranya adalah militer atau TNI. Dalam salah satu pertemuan para pensiunan Jendral TNI dengan Ketua Majlis Syura: KH Hilmi Aminuddin Lc, keluar pernyataan dari para mantan Jendral tersebut: ”Kami (TNI) dulu tidak merasa serumah dengan PKS, (dengan kata lain mereka merasa PKS asing di negeri ini) namun setelah Dialog Kebangsaan di Bali, kami merasa sudah satu rumah dengan PKS namun belum satu kamar dengan PKS. Namun kini setelah berbincang-bincang dalam dan jauh dengan pendiri PKS, kini kami merasa sudah satu kamar dengan PKS”.

Ada dialog lain yang menarik ketika para Jenderal purnawirawan tersebut bertanya apakah PKS bermaksud menegakkan syariat Islam? Kelihatanya para Jenderal (Purn) ini benar-benar ingin bermushorohah tentang hal-hal apa yang mereka risaukan dan curigai dari jati diri PKS yang sesungguhnya. Ustadz Hilmi menjawab: ”Bahwa kita saat ini sedang bersilaturahim adalah bagian dari syariat Islam. Tanpa syari’at Islam orang tidak mungkin berhaji atau umrah, menunaikan kewajiban zakat dll. Sembilan puluh delapan persen (98%) syariat Islam berada di ruang pribadi dan muamalah yang tidak perlu diundang-undangkan. Hanya 2% bagian syariat Islam yang berada di ranah hukum dan harus diundangkan yang banyak ditakuti orang seperti hukum rajam, cambuk dan lain-lain yang merupakan hukum pidana agar negara memiliki otoritas untuk pelaksanaannya. Namun itupun harus melalui sebuah konsensus dan bila belum tercapai konsensus untuk melaksanakan hal itu ya tidak apa-apa tidak dilaksanakan yang kata kuncinya adalah konsensus.”

Selain itu juga pertanyaan lain yang rupanya selama ini tersimpan di benak para mantan Jenderal dilontarkan ke ustadz Hilmi: ”Apakah kalian (PKS) anti Pancasila?”. Ustadz Hilmi menjawab lugas: ”Bukan Pancasila yang menimbulkan antipati dan resistensi pada umat Islam, melainkan pemaksaan tafsir tunggal yang kejawen itulah yang menjadi sebab resistensi. Pancasila sendiri sebagai platform dan ideology terbuka sebenarnya memiliki fleksibilitas penafsiran yang bisa diisi dengan tafsir yang menjadi konsensus bersama”. Bung Karno ketika diprotes oleh umat Kristen mengapa Pancasila sangat berbau Islam mengatakan hal itu sebagai kewajaran karena secara riil mayoritas bangsa Indonesia adalah muslim sehingga mewarnai dan memberi nafas pada ideology bangsa. “Bila kalian mampu menjadi mayoritas, maka Pancasila pun akan bisa diwarnai dengan nilai-nilai Kristiani”, demikian tegas Bung Karno. Jadi sebenarnya pun terbuka ruang kontestasi bagi ideologi Islam untuk memenangkan pertarungan secara fair dan prosedural jika ingin diterima sebagai konsensus berbangsa dan bernegara.

Dalam rangka menuju kondisi itulah yakni ideology Islam diterima sebagai konsensus suatu hari nanti, maka PKS membutuhkan ruang beramal shaleh yang lebih luas dari sekedar pesantren, sekolah, kampus dan masjid yakni pentas bangsa dan negara. Oleh karenanya PKS harus “kulanuwun” menyapa segenap elemen penghuni negara ini dari beragam partai, kelompok, agama dan suku. Selain itu juga harus berusaha meredam dan meminimalisir setiap unsur yang memiliki resistensi, antipati dan permusuhan terhadap PKS. Panggung politik ini harus menghasilkan maslahat untuk ummat dan bangsa Indonesia bukan sekedar politik untuk politik.
Iklan PKS tentang Pahlawan yang ditayangkan di TV selama tiga hari di sekitar Hari Pahlawan adalah upaya menampilkan perjuangan para pahlawan pendahulu kita yang masing-masing telah mencoba berbuat bagi bangsa dan negara ini. Namun para pahlawan nasional maupun tokoh pemimpin yang telah menjadi pahlawan nasional rupanya masih diklaim identik dengan kelompok dan golongan tertentu. PKS menganggap dengan menampilkan dan menghargai para tokoh tersebut berarti telah menyapa elemen-elemen bangsa yang berbeda-beda yang kesemuanya terikat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang berarti PKS memperluas medan dakwah untuk beramal saleh.

Mengapa PKS harus menampilkan Soeharto?. PKS merasa harus menyapa beberapa elemen bangsa pendukung Soeharto yakni terutama Jawa dan militer. Pertama adalah orang-orang Jawa yang merupakan pendukung Soeharto dan etnis mayoritas di negara ini yang diibaratkan orang seperti suku Quraisy di Arab yakni suku terpandang yang memiliki banyak keunggulan.

Kedua PKS mencoba menyapa militer sebagai Jenderal berbintang lima dihormati. Kita lihat pada saat pemakaman Soeharto, Jenderal dari empat angkatan memegang keempat ujung bendera yang menutupi keranda jenazah Soeharto, karena Soeharto adalah Jendral Besar. Yang tentunya TNI tidak rela bila Jenderal besar mereka dinistakan. Soal keadilan di meja hijau, tentu ada hukum formal yang menyertainya yang tentunya harus mengikuti mekanisme peradilan yang baku. Apalagi polling di antara 6 presiden RI mana yang paling mereka anggap baik, menunjukkan 54% rakyat memilih Soeharto. Fakta ini tak boleh diabaikan jika jalan masuknya PKS ke ruang besar untuk beramal shaleh ingin lancar dan tak menemui hambatan yang berarti. Karena kita akan mengelola negara, maka kita tidak bisa memakai standar homogenitas, melainkan harus lebih toleran pada keragaman dan perbedaan-perbedaan.

Kebutuhan PKS akan ruang lebih besar untuk beramal harus dapat mengantisipasi terjadinya ancaman dan hambatan yang mungkin terjadi. Salah satunya adalah menghilangkan kecurigaannya terhadap dakwah Islam yang dibawa oleh PKS yaitu dengan meminimalisir kecurigaan, antipati dan resistensi dari berbagai kelompok, suku dan agama. Hal itu semata-mata untuk menciptakan stabilitas bangsa dan seluruh komponen bangsa ini lebih adaptif dengan ide-ide PKS hingga lebih leluasa menggulirkan berbagai kebijakan pembangunan di negeri ini.

Untuk menciptakan stabilitas nasional PKS memilih menempuh jalan konsensus daripada represif. Artinya PKS harus lebih terbuka (open mind) dan lebih demokratis dalam beramal saleh dalam mengatasi persoalan bangsa yang terpuruk ini.

Sehingga tuduhan-tuduhan yang menyakitkan dan tidak beralasan seperti tuduhan tidak reformis dan menerima uang sogokan dari keluarga Cendana tidak boleh mengecilkan hati kita para kader PKS, karena itu adalah resiko dan sunatullah dalam dakwah. Namun yang jelas kita semua harus tetap selalu memiliki dalam benak kita sebuah grand design bahwa kita tengah merintis pembangunan kejayaan dan kemakmuran negeri ini.


Seseorang yang beramal dengan ikhlas di atas grand design yang diyakininya benar, tidak akan terganggu dengan caci, celaan, hujatan dan tuduhan sebagaimana firman Allah dalam Qur’an surat Al Ma’idah ayat 54:” …dan tidak takut celaan orang yang suka mencela”. Juga hadits Nabi SAW: “Layadhuruhum man khodzalahum..” (tidak akan membahayakannya mereka yang menistakannya). Tujuan dakwah dan maslahat ummat jauh lebih berharga dari rasa sakit akibat dihina dan dihujat.

Hal tersebut ditegaskan lagi oleh Nabi SAW:


“Man yukholitun nasa wa yusbiru ‘ala adzaahum khoiru min man la yukholitun nasa wala yusbiru ala adzaahum”.

Orang yang berbaur dengan manusia lainnya (yang beragam ideologi dan pahamnya) dan bersabar dengan rasa sakitnya jauh lebih baik dari orang yang tidak mau berbaur dan tidak bersabar atas penderitaan.


wallahu a’lam

Menyoal Arus Sinisme yang Meresahkan Kader-Kader Dakwah

Oleh : Afif Romadlon

Bermula dari banyaknya pertanyaan yang dilontarkan beberapa kader, aktivis dakwah dan bahkan tokoh PKS kepada penulis tentang berbagai persoalan dakwah dan ukhuwwah yang kian meresahkan belakangan ini, penulispun terdorong untuk menuliskan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan mereka dalam blog ini agar dapat bermanfaat juga untuk banyak pihak yang kebetulan mempunyai pertanyaan yang sama. Penulis tidak akan menuliskan nama-nama dalam contoh-contoh yang diungkapkan semata-mata karena masalah kepatutan.


Salah satu permasalahan penting yang meresahkan para kader adalah soal adab majelis dan adab berjamaah yang tidak lagi diindahkan. Beberapa ikhwan, sebagian adalah kader-kader awal gerakan dakwah ini dan umumnya para mubalighin dan khuthoba yang cukup kondang, di berbagai forum seolah secara serentak menyuarakan gerakan anti perubahan dalam pengertian yang sangat rigid (antagonis terhadap perubahan). Mereka juga melontarkan kritik-kritik tajam, pedas dan cacian terhadap partai, pejabat-pejabat partai dan bahkan terhadap sang muasis dakwah harokah dan partai ini. Ucapan-ucapan sinis mereka yang tidak lagi mengindahkan adab dan sopan santun mengesankan bahwa mereka tidak lagi menghormati dan menghargai orang lain yang sedang beramal, padahal yang mereka caci adalah guru mereka sendiri.

Mereka begitu emosionalnya sampai lupa memilah waktu serta memilih tempat dan forum disaat berbicara. Mereka juga tidak memperdulikan siapa audiensnya, bahkan tidak lagi sempat memikirkan apa efek "statement-statement" mereka terhadap kelangsungan dakwah ini. Bagi mereka yang penting memuntahkan semua kemarahan, kekecewaan dan kebencian mereka, yang penting tersebarnya aib hingga benar-benar terpuaskan tanpa tersisa.

Begitulah pertanyaan-pertanyaan yang menggambarkan keresahan para kader atas fenomena yang mereka lihat dan dengarkan.

Memang saat ini gerakan dakwah sedang diuji dengan banyaknya kelompok kelompok dan aliran-aliran yang menyempal atau keluar dari arus utama pemikiran gerakan dakwah ini. Eforia demokrasi bangsa Indonesia masuk dalam tatanan jamaah ini berupa kebebasan untuk berbeda pendapat dan menyuarakannya dengan bebas dan nyaris tanpa aturan. Hal ini mulai meresahkan dan menggelisahkan para kader di bawah yang ingin tetap ikhlas beramal tanpa terjebak pada perdebatan wacana yang melambung dan bernuansa parapolitik (politik internal). Nampaknya hingga saat ini belum ada tokoh maupun sistem atau paling tidak solusi berupa pendekatan yang dapat mengurai benang kusut perdebatan pemikiran dan akhirnya menjawab kegelisahan dan keresahan tersebut.

Untuk itu penulis ingin membahas permasalahan tersebut dengan perspektif dan logika ilmiah yang jernih dan tidak mengandung pretensi apapun.

Sebagian ikhwah yang vokal dan berperilaku meresahkan seringkali membela diri dengan dalih mereka vokal dan kritis karena menyayangi jama’ah dan para pemimpinnya sehingga mengkritik, menasehati dan mengoreksi.

Sekilas nampaknya benar apa yang mereka utarakan. Ya.. apa yang salah dengan tausiah dan kritik? Tidak ada yang salah memang dengan hal itu, yang menjadi salah dan masalah adalah mereka tidak bisa membedakan antara kritik dan sinisme. Kita harus membedakan antara keduanya. Tausiyah dan kritik berfungsi untuk meluruskan dan mengoreksi kesalahan dalam lingkup positif, namun tidak demikian halnya dengan sinisme. Orang-orang yang tergabung dalam aliran sinisme ini (selanjutnya penulis sebut : Galasin – golongan sinisme-- ) bukan lagi bermaksud menasehati dan mengoreksi pihak lain melainkan menghancurkan karakter orang yang tidak mereka sukai, bahkan belakangan ini mereka sepakat untuk masuk kedalam jamaah dan menyuarakan dari dalam dan mulai membentuk struktur sendiri. Mereka mendapat dukungan +/- 150 kader, yang sebagiannya adalah para mufatirin lama dari berbagai daerah. Mereka menciptakan stigma jamaah cenderung sesat dan mereka yang memegang tongkat kebenaran dan kesucian. Kebenaran miliknya sementara yang lain sungsang dan lancung.

Konon munculnya istilah sinisme adalah sudah sejak 400 tahun sebelum masehi. Awalnya ia adalah filsafat nilai dalam mengartikan kebaikan dan berbuat baik dengan cakupan positif. Bahwa seseorang melaksanakan kebaikan dengan tujuan kebahagiaan hakiki, dan harus membuktikan ketulusannya dengan menjauh dari harta dan dunia (zuhud). Namun pada akhirnya terjadi penyimpangan secara ekstrim, standar yang pada awalnya digunakan sebagai ukuran untuk dirinya berubah menjadi alat ukur untuk mencemooh orang lain yang tidak sejalan dengan pikirannya.

Maka pada gilirannya saat ini Galasinpun ada di jamaah kita. Mereka menjadi golongan sinisme yang kerap kali menjelek-jelekkan semua orang selain dirinya. Suka mencemooh, mencibir, menistakan, menggosip, lancang, dan arogan. Seolah-olah hanya pada dirinya dan kelompoknya saja kebenaran dan kebaikan berada, sedangkan pihak lain tidak. Mereka merasa bisa mengerjakan semua yang mereka katakan padahal bila menengok kebelakang merekalah contoh orang yang gagal. Mereka berbicara, mengecam orang lain sementara mereka tidak sedang mengerjakan apa-apa, tidak pula ada amanah yang sedang diemban. Mereka sibuk berwacana dengan kalimat ‘seharusnya’ dan ancaman kerusakan dan kehancuran, padahal mereka sendiri sedang menghancurkan. Karena secara teori galasin lebih suka menghancurkan tatanan yang ada, baik tatanan sosial ataupun organisasi.

Ada contoh yang ironis sekaligus menyedihkan untuk memperjelas hal diatas. Masih segar dibenak penulis, ketika ada seorang anggota DPR RI dari partai Keadilan yang tergabung dalam Fraksi Reformasi (1999-2004), menunjuk gedung DPR dan menyebut gedung tersebut sebagai kandang babi, padahal saat itu dia sendiri adalah bagian dari gedung tersebut. Menurut penulis itu adalah ungkapan kekecewaan atau mungkin keputus-asaan atas ketidak mampuannya mengikuti proses demokrasi. Ia tidak memperdulikan untuk siapa dan kepada siapa ia berbicara. Mungkin akan lebih hebat umpatannya seandainya pada saat itu dia tidak merupakan bagian dari gedung tersebut. Kesimpulannya, baik dia bagian dari gedung itu ataupun bukan, dia akan selalu mengumpat. Jelas itu bukan akhlak terpuji dan filsafat sinisme itu negatif. Betapapun kalimat sinisme pada awalnya digunakan hal yang masih positif, namun pada perkembangannya menjadi sangat negatif dan cenderung melawan hukum positif ataupun hukum Tuhan. Sehingga dalam filsafat modern sinisme disejajarkan dengan atheis.

Ada contoh lain tentang sinisme dalam konteks harokah kita, bahwa ada sekelompok orang yang memiliki hobi menyebarkan sinisme dengan cara obral sms ataupun dengan milis, website, atau blog yang tingkat penyebarannya luarbiasa. Setelah ditelusuri latar belakang masing-masing orang tersebut, walaupun berbeda-beda namun memiliki kemiripan yaitu kekecewaan dan kegetiran yang melatar-belakanginya. Ada yang kecewa karena ikut tender di sebuah departemen dengan harapan akan diberi privilege oleh tokoh partai, namun ternyata tidak dapat apa-apa. Setelah itu dia menjadi pencemooh dan menghabiskan banyak pulsa untuk menyebarkan sms-sms sinis ke semua orang dan berharap mendapat dukungan dan pujian atas kepahlawanannya menyebarkan gosip tanpa mengetahui dengan jelas bukti dan sumbernya. Jelas gosip dan ghibah dilarang agama. Ini adalah contoh kekecewaan yang berakibat kepada sinisme. Dan banyak lagi ragam kegetiran yang menyebabkan seseorang menjadi sinis. Ada yang disebabkan karena pernah menjabat tapi karena melakukan pelanggaran sehingga harus dicopot, kemudian menjadi kecewa dan sinis.

Salah satu anggota Galasin yang disebutkan kader penanya di atas, rupanya ada dari kalangan akademisi dengan titel hebat dan cukup kondang dengan simat wajah soleh dan penampilan yang luar biasa islami. Nah… yang ini penulis tidak berani berkomentar, sepertinya kita semua harus beristighfar bersama tanda pengakuan kita sebagai manusia yang kerap diliputi dengan kekeliruan. Namun ironisnya penulis juga ingat dahulu ketika dakwah ini masih dikelola dengan syiar sundukuna juyubuna (sumber dana kita berasal dari saku kita masing-masing). dan membutuhkan ilmuwan (ulama), sang doktor tadi dimohon kesediaannya untuk terlibat dalam dakwah. Ternyata enggan dan menolak. Setelah diminta berulang ulang tidak kunjung bersedia, maka penulis ingin sekali mengetahui alasan dari penolakannya itu. Pada akhirnya muncullah pernyataan dari mulutnya yang disampaikan kepada salah satu utusan yang menemuinya. Terus terang jawabannya membuat penulis terbelalak dan malu. “bila saya mau pegang amanah di partai, akan dapat fasilitas apa? (gaji berapa, kendaraannya apa).

Ada contoh lain yang menggelikan, yaitu ada beberapa orang yang pada awalnya mendapat amanah dakwah, tapi karena merasa dirinya tidak mampu maka mereka mengundurkan diri. Penulis masih ingat dengan ungkapan salah seorang dari mereka pada waktu mengundurkan diri “otakku gak nyambung setiap kali rapat. Ibarat main bola, cuman lari-lari gak pernah nendang bola hingga bunyi peluit terakhir” katanya. Betapapun demikian pengunduran dirinya tidak langsung diterima oleh pimpinan. Setelah pengunduran dirinya berkali-kali diajukan, maka akhirnya diterima. Namun beberapa tahun kemudian ketika jabatannya diberikan kepada orang lain, beliau pula yang menjalankan praktek operasi sinisme terhadap tokoh-tokoh penggantinya dengan keras, bahkan mencerca dan menistakan. Tipe yang ini penulis tidak tahu, termasuk dari golongan mana.

Mungkin masing-masing pembaca mendapati kesimpulan yang berbeda-beda, tapi dari sekian cerita yang mungkin tidak dapat ditulis disini semuanya, penulis berkesimpulan Galasin dalam konteks dakwah ini dilatar belakangi oleh kekecewaan yang sangat dalam.

Semoga cerita tersebut diatas bukan sekedar olok-olok, tapi diterima sebagai tarbiyah bagi kita semua. Akhir cerita penulis berpesan “ Ikhlaslah Beramal”, hormati saudara kita yang sedang beramal dan jaga keutuhan jamaah demi kemaslahatan yang lebih besar. Hiasi komunikasi ukhuwwah antar kita dengan itsar dan salamatus sodr jangan rusak keindahan ukhuwwah dengan hasad dan dengki.

SINISME DAN HEDONISME DALAM BERJAMAAH

Oleh : Bramastyo Bontas P.

A. Sejarah Sinisme dan Hedonisme

Sejarah mengenai sinisme dan hedonisme adalah sejarah filsafat menuju kebaikan. Hanya pada perkembangannya setelah jaman Romawi kuno pengertian tersebut berubah menjadi konotatif. Berikut ini adalah gambaran sejarah sinisme dan hedonisme, agar kita mengerti betul mengenai hal tersebut.


1. Sinisme

Tokoh utama adalah Antithenes ( ca. Tahun 455-360). ia mengajar dalam gymnasion di Athena yang bernama Kynosarges (tempat latihan anjing-anjing). Karena itu dan juga karena mereka menolak adat istiadat tradisional, pengikut-pengikut mazhab ini diberi julukan Kynokoi yang berasal dari kata Yunani Kyon (anjing). Kata-kata inggris seperti cynism, cynic, dan cynical diturunkan dari nama julukan tadi. Antithnes adalah murid Gorgias dan kemudian ia menjadi salah seorang pengikut Socrates yang paling setia. Dalam bidang dialektika ia menentang teori Plato mengenai idea-idea yang berdiri sendiri. Dalam bidang etika ia beranggapan bahwa manusia mempunyai keutamaan, bila ia tahu melepaskan diri dari barang jasmani dan segala macam kesenangan, seperti telah dipraktikan oleh Sokrates. Karena kesenangan adalah musuh besar bagi orang yang ingin hidup bahagia. Seorang bijaksana tidaklah tergantung dari sesuatupun dan akibatnya hidup swasembada.

Diogenes dari Sinope (ca. Tahun400-325) berpendapat bahwa praktik hidup Antithenes tidak sesuai dengan ajarannya. Dan ia sendiri konsekuen menurut prinsip-prinsip sinisme. Di kemudian hari ia terkenal karena cara hidupnya yang mengabaikan segala adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat sekitarnya. Banyak legenda telah diceritakan oleh Diogenes ini antara lain bahwa ia memilih sebuah tong sebagai tempat kediamannya.

Konon suatu hari Socrates sedang berdiri menatap sebuah kedai yang menjual segala macam barang. Akhirnya dia berkata, “betapa banyak benda yang tidak kuperlukan” pertanyaan ini bisa jadi merupakan motto aliran filsafat Sinis, yang didirikan oleh Antithenes di Athena sekitar 400SM. Antihtenes pernah menjadi murid Socrates, dan sangat tertarik pada kesederhanaannya. Kaum sinis menekankan bahwa kebahagiaan sejati tidak terdapat dalam kelebihan lahiriah seperti kemewahan materi, kekuasaan politik, atau kesehatan yang baik. Kebahagiaan sejati terletak pada ketidaktergantungan pada segala sesuatu yang acak dan mengambang. Dan karena kebahagiaan tidak terletak pada keuntungan-keuntungan semacam ini, maka semua orang dapat meraihnya. Lebih-lebih, begitu diraih, ia tidak akan pernah lepas lagi. Kaum sinis percaya bahwa orang tidak perlu memikirkan kesehatan diri mereka. Bahkan penderitaan dan kematian tidak boleh mengganggu mereka. Pun mereka tidak boleh membiarkan diri tersiksa karena memikirkan kesengsaraan orang lain. Kini, istilah sinis dan sinisme ketidakpercayaan yang mengandung cemooh pada ketulusan manusia, dan kedua istilah itu menunjukkan ketidakpekaan terhadap orang lain.

2. Hedonis

Arustippos (ca.tahun 435-355) adalah murid sokrates yang dianggap sebagai pendiri mazhab Kyrene. Mazhab ini juga dinamakan mazhab Hedonis, karena ajarannya dalam bidang etika. Aristippos dan murid-muridnya menyetujui pendapat Sokrates bahwa keutamaan tidak lain daripada mencari yang lebih baik. Tetapi mereka menyamakan 'yang baik' itu dengan kesenangan (hedone). Dan Aristippos menerangkan bahwa maksudnya ialah kesenangan badani dan bukan saja kesenangan rohani. Dari sebab itu pendirian ini disebut 'hedonisme'. Akan tetapi seorang bijaksana tidak akan mengejar kesenangan tanpa batas, karena kesenangan yang tak terbatas pada akhirnya mengakibatkan kesusahan. Rasio manusia bertugas menentukan maksimum dan minimum itu. Jadi, dalam perspektif hedonisme, pengendalian diri dan pertakaran perlu sekali untuk mencapai cara hidup yang ideal. Biarpun sinisme dan hedonisme bertolak dari prinsip-prinsip yang sama sekali berbeda namun dalam praktik kedua pendirian tidak berbeda besar.

3. Hedonisme dan Epikuros

Dalam pemikiran Epikuros, menyebutkan bahwa kebahagiaan dalam kehidupan yang tahu diri. Seperti kebanyakan seluruh etika yunani, Epikuros menunjukkan bagaimana manusia dapat hidup dengan sebahagia mungkin dalam suatu kehidupan yang banyak goncangannya. Untuk itu manusia harus mengusahakan kesenangan. Makin manusia hidup dalam kesenangan makin bahagia dia. Maka Epikuros seorang Hedonis. Tetapi hedonis yang canggih. Kesenangan yang mantap tidak tercapai dengan mencari pengalaman nikmat sebanyak mungkin, melainkan dengan menjaga kesehatan dan berusaha hidup sedemikian rupa hingga jiwa bebas dari keresahan.


Maka manusia yang mau bahagia justru harus membatasi diri. Ia harus dapat senang dengan sedikit saja. Ia harus memakai nalar untuk mempertimbangkan keinginan mana yang dipenuhi dan mana yang tidak. Nikmat berlebihan dapat menghasilkan perasaan sakit, dan apabila kita selalu menghindar dari apapun yang menyakitkan, banyak pengalaman menyenangkan justru tidak akan tercapai.


Maka perlu usaha kedua arah. Di satu pihak, orang harus belajar untuk hidup sederhana, untuk puas dengan seadanya. Dan dipihak lain, ia harus memakai pemikirannya untuk membebaskan diri dari ketakutan-ketakutan yang tidak perlu. Kebahagiaan Epikuros adalah kebahagiaan kecil yang menarik diri dari dunia, yang tidak terlibat dalam politik, yang di tengah-tengah kesusahan memelihara kebun ketentramannya dengan aman. Dibandingkan dengn Plato dan Aristoteles, tetapi juga dengan Stoa, wawasan kebahagiaan Epikuros sangat sederhana. Hal 55

B. Hedonisme dan Sinisme yang Negatif

Dengan melihat kondisi manusia yang terdiri dari aspek jasmani dan ruhani, sesungguhnya paham yang cenderung menitik beratkan pada salah satu aspek tidak dapat dielakkan. Hedonisme pada prinsipnya menitikberatkan kebutuhan jasmani daripada ruhani. Sehingga sejak awal sejarah manusia, hedonisme dengan berbagai versi serta aktualisasinya, sadar atau tidak sadar, akan selalu muncul. Hanya saja, fenomena hedonisme, diakhir abad ini sudah sedemikian meluas dan mencolok apabila dibandingkan dengan masa lalu.


Hedonisme di Indonesia saat ini merupakan fenomena paham perilaku yang khas negara berkembang. Perilaku tanggung dalam menangkap modernitas sebagai nilai. Simbol modernitas ditangkap sebagai “barang jadi” dan tidak memahami proses yang mendahuluinya. Pemilikan barang-barang mutakhir yang bercirikan teknologi tinggi adalah ciri kemodernan dan merupakan prestasi yang harus dikejar, dan karena itu mempunyai prestise tersendiri. “memilikinya” jauh lebih mempunyai makna dari menguasainya secara fungsional. Simbol-simbol lahiriah seperti arsitektur rumah kediaman, pusat-pusat perbelanjaan modern, makanan modern, gaya hidup itu harus meniru bangsa modern dan itu identik dengan barat. Tentu saja di sisi lain, apa saja yang berbau “tradisional”, kendatipun itu milik kita sendiri harus dianggap ketinggalan jaman dan harus ditinggalkan.


Persepsi seperti itu telah merusak semua lini masyarakat (pemimpin, pejabat, masyarakat). Ukuran-ukuran keberhasilan hidup tidak lagi pada keunggulan ruhaniah, tetapi pada kelebihan jasmaniah semata-mata. Norma menjadi longgar, karena apapun dapat dilakukan untuk menuju keberhasilan di bidang jasmani dan materi.


Lain lagi dengan sinisme. Golongan mereka yang seperti ini kerap menjelek-jelekkan semuanya. Suka mencemooh, mencibir, menistakan, menggosip, lancang dan arogan. Seolah-olah hanya pada dirinya dan kelompoknya saja kebenaran dan kebaikan berada, sedangkan pihak lain bodoh dan buruk.


Orang yang sinis dekat dan hanya termotivasi oleh egoisme. Dalam mengerjakan sesuatu, ia merasa mampu, sedangkan orang lain pasti tidak becus. Ini aneh, karena ia sendiri tidak mengerjakan apa-apa, tidak dalam kapasitas diberi amanah mengerjakan sesuatu dan juga tidak berwenang apapun disitu. Ia sibuk berwacana. Benaknya hanya diisi syakwasangka, buruk sangka pada orang lain. Karena suka meremehkan orang lain, golongan sinis biasanya juga terkena penyakit inferior, minder, tak punya rasa percaya diri, dan mengalami krisis kepercayaan pada orang lain. Ia tentunya juga naif, pesimistis, berfikir melulu negatif dan berspirit rendah.


Secara realistik menghilangkan sama sekali dorongan ke arah pemuasan kebutuhan jasmani adalah tidak mungkin. Sebab jasmaniah juga merupakan landasan penting untuk kesempurnaan hidup terpenuhi. Nonsens apabila dikatakan kita akan bahagia tanpa kebutuhan jasmaniah terpenuhi. Tetapi salalu harus ditumbuhkan kesadaran bahwa manusia bukan sekedar mahluk jasmaniah melainkan pula mahluk ruhani. Dimana kesenangan jasmani menjadi tidak bermakna tanpa kebahagiaan yang bersifat ruhani. Tentu saja ini memerlukan sistem norma, terutama agama. Agama dalam hal ini memerlukan dataran baru yang mampu memecahkan persoalan konkret kemanusiaan. Di samping tentu saja sistem yang mengharuskan adanya perilaku pendukung yang dapat diteladani, termasuk perlu dilakukan reevaluasi program-program yang selama ini dilakukan demi meminimalisasi dampak negatifnya.


Kuncinya sederhana. Apresiasilah saja keteladanan, kedisiplinan dan konsistensi pemimpin. Kita pun tak pernah khawatir melancarkan kritik jika pemimpin memang menyimpang atau keliru

C. Menyikapi Sinisme dan Hedonisme

Diskusi tentang sinisme dan hedonisme akan lebih leluasa jika didekati melalui Konsep Evolusi Sosiokultural. Sebagai suatu pendekatan, konsep evolusi sosiokultural menawarkan telaah tentang bagaimana suatu komunitas atau lebih luas suatu masyarakat selalu berusaha beradaptasi dengan nilai-nilai baru yang berkembang di sekitarnya secara evolusioner.


Setiap masyarakat memiliki cara-cara yang khas dalam beradaptasi. Cara-cara khas tersebut bisa berupa output dari bentuk-bentuk konsensus maupun konflik. Dalam masyarakat tradisional (pra-industri) proses adaptasi terhadap hal-hal baru di sekitarnya terasa amat lamban. Beda dengan masyarakat modern (industri), kecenderungan umum masyarakat tradisional masih sangat kuat bertahan pada nilai-nilai lama. Dalam masyarakat modern (industri), perkembangan nilai-nilai baru mendapatkan respon yang cukup signifikan. Hal mana disebabkan oleh kompleksitas kebutuhan dan kepentingan masyarakat tersebut.


Hedonisme dan sinisme sebagai nilai baru yang bukan sekedar berasal dari Barat, tepatnya berasal dari gaya hidup masyarakat industri modern yang lebih berwatak liberal. Adalah sebuah produk kebudayaan yang kini merambah kedalam kehidupan masyarakat dunia ketiga, yang secara struktural masih sangat labil di satu sisi dan di sisi lain secara kultural masih cenderung konservatif (teguh memegang nilai-nilai tradisi lokal). Hedonisme bagi masyarakat industri modern adalah sebuah keniscayaan, namun bagi masyarakat tradisional budaya (sinisme) ini merupakan ancaman yang ditafsirkan akan selalu membawa petaka.


Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hedonisme adalah bentuk dari counter culture (budaya tandingan) yang sekaligus mengandung makna korektif terhadap budaya dominan yang sangat mapan. Sekalipun demikian, hedonisme seringkali menjadi biang dari berbagai “kekacauan” tatanan kehidupan dan bahkan mengancam keselamatan suatu peradaban.


Melihat asal muasal munculnya hedonisme sebagai counter culture, maka sikap penolakan dengan tetap bertahan pada cultur dominan yang cenderung anti perubahan, seperti dalam bentuk sinisme, sangat tidak menguntungkan,. Sikap penolakan atas hedonisme mesti diimplementasikan ke dalam sikap inklusifitas. Artinya hedonisme tidak sekedar dipandang sebagai ancaman dan petaka, melainkan juga harus dilihat sebagai bentuk kritik dan koreksi atas kebudayaan dominan selama ini. Asumsinya sederhana saja, ketika kebudayaan dominan telah terbuka atas kritik dan mau melakukan adaptasi atas kompleksitas kebutuhan hidup masyarakat, maka dengan sendirinya hedonisme tidak akan mendapatkan tempat. Masyarakat akan menemukan bentuk-bentuk baru dalam menjalani kehidupannya. Inilah subtansi dari sebuah pencerahan dan kemerdekaan.

-------;;-------